Ken Soetanto, asli Surabaya bergaji Rp 12 miliar per
bulan di Jepang
SURABAYA - Prestasi membanggakan ditorehkan Prof Ken Soetanto. Warga Surabaya ini menggondol gelar profesor dan empat doktor selama bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Hebatnya lagi, prestasi akademiknya tersebut diakui di Jepang dan AS dengan menjadi profesor di usia 37 tahun.
Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY).
Saat ini pria beristri juga perempuan Surabaya ini tercatat sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor tamu di Venice International University, Italia.
Gelar itu dirangkap dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang Applied
Electronic Engineering di Tokyo Institute of Technology, Medical Science dari Tohoku University, dan Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar Waseda University.
''Saya sungguh menikmati dengan pekerjaan sebagai akademisi,'' tutur Soetanto dalam wawancara khusus dengan koran ini di President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu (13 Feb 2010). Soetanto kebetulan berada di Indonesia untuk mendampingi Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University) dalam penandatanganan MoU antara President University dan Waseda University. President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Sebagian mahasiswa President University berasal dari Cina, Vietnam, dan Jepang.
Di luar status kehormatan akademik itu, Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan presiden RI BJ Habibie ini ini tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision.
''Pada jabatan tersebut saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,'' tutur Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa berlogat Suroboyoan ini. Buah pemikiran Soetanto yang terkenal adalah konsep pendidikan "Soetanto Effect" dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Dan, mau tahu berapa Soetanto digaji? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademisi bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mengganjar Soetanto dengan gaji US$ 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun. Sungguh "perhatian" dari pemerintah yang luar biasa!
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan di SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolahan warga keturunan Tionghoa.
Kritik pendidikan RI Seusai menandatangani MoU, Soetanto memberikan ceramah akademik popular di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramahnya menarik perhatian
mahasiswa bahkan beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeber pengalamannya bisa "menaklukkan" dunia perguruan tinggi Jepang kendati dirinya hingga sekarang masih berkewarganegaraan
Indonesia. Apalagi, dirinya berasal dari Kota Surabaya yang nyaris tak diperhitungkan di dunia akademisi Jepang.
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dibenahi untuk menghasilkan produk berkualitas. ''Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,'' jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api. Yang ironis, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. ''Dan, karena faktor tersebut jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,'' pungkas Soetanto. Kendati demikian, pria berkaca mata ini awalnya belajar ke Jepang bukan untuk semata-mata untuk mengejar materi alias duit.
bulan di Jepang
SURABAYA - Prestasi membanggakan ditorehkan Prof Ken Soetanto. Warga Surabaya ini menggondol gelar profesor dan empat doktor selama bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Hebatnya lagi, prestasi akademiknya tersebut diakui di Jepang dan AS dengan menjadi profesor di usia 37 tahun.
Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY).
Saat ini pria beristri juga perempuan Surabaya ini tercatat sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor tamu di Venice International University, Italia.
Gelar itu dirangkap dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang Applied
Electronic Engineering di Tokyo Institute of Technology, Medical Science dari Tohoku University, dan Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar Waseda University.
''Saya sungguh menikmati dengan pekerjaan sebagai akademisi,'' tutur Soetanto dalam wawancara khusus dengan koran ini di President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu (13 Feb 2010). Soetanto kebetulan berada di Indonesia untuk mendampingi Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University) dalam penandatanganan MoU antara President University dan Waseda University. President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Sebagian mahasiswa President University berasal dari Cina, Vietnam, dan Jepang.
Di luar status kehormatan akademik itu, Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan presiden RI BJ Habibie ini ini tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision.
''Pada jabatan tersebut saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,'' tutur Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa berlogat Suroboyoan ini. Buah pemikiran Soetanto yang terkenal adalah konsep pendidikan "Soetanto Effect" dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Dan, mau tahu berapa Soetanto digaji? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademisi bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mengganjar Soetanto dengan gaji US$ 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun. Sungguh "perhatian" dari pemerintah yang luar biasa!
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan di SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolahan warga keturunan Tionghoa.
Kritik pendidikan RI Seusai menandatangani MoU, Soetanto memberikan ceramah akademik popular di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramahnya menarik perhatian
mahasiswa bahkan beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeber pengalamannya bisa "menaklukkan" dunia perguruan tinggi Jepang kendati dirinya hingga sekarang masih berkewarganegaraan
Indonesia. Apalagi, dirinya berasal dari Kota Surabaya yang nyaris tak diperhitungkan di dunia akademisi Jepang.
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dibenahi untuk menghasilkan produk berkualitas. ''Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,'' jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api. Yang ironis, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. ''Dan, karena faktor tersebut jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,'' pungkas Soetanto. Kendati demikian, pria berkaca mata ini awalnya belajar ke Jepang bukan untuk semata-mata untuk mengejar materi alias duit.
2 CommentS:
Ikis suroboyo opo cino?
Suroboyo ikiew,,
Posting Komentar
Terima kasih atas Komentarnya ya..