A. Definisi Fenomenologi
Fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur – hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami.
Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami.
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani “phainomenon” yang berarti gejala dan “logos” yang berarti perkataan, ajaran. Fenomenologi mengandung beberapa perngetian:
1. Arti luas, ilmu tentang fenomen – fenomen atau apa saja yang tampak. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia.
2. Arti sempit, ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
B. Dimensi Ontologis:
Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut
Tokoh –tokoh ::
1. Emmanuel Kant
2. Fenomenologi Edmund Husserl
3. Fenomenologi Alfred Shutz
4. Fenomenologi Peter L. Berger
5. Harry Hamersma
6. Emilio Betti
7. Merlu – Ponty
Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna hakikat terdalam dari fenomena tersebut.
C. Tokoh Fenomenologi
1. Emmanuel Kant
Kant menamakan bagian keempat dari karyanya yg berjudul Metaphysical Principles of Natural Science asebagai Phenomenology. Bagian ini menguraikan gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai setiap gejala. Kant memerlukan studi fenomenologi tentang pembedaan dunia inderawi dan dunia intelijibel guna mencegah kekacauan metafisis antara keduanya.
Ia menyatakan bahwasanya tidak mungkin bagi seseorang untuk mengungkapkan noumena, sebagaimana yang ia ungkapakan:
“Beings of the understanding are admitted, but with the incalculation of this rule which admits of no exception; that we neither know nor can know anything determinate whatever about these pure beings of the understanding, because our pure concepts of the understanding as well as our pure intuitions extend to nothing but objects of possible experience, consequently to mere things of sense”.
Dalam ungkapannya tersebut Kant berusaha untuk menjelaskan bahwasanya esensi dari noumena (The Understanding) adalah diakui, tetapi dengan tanpa adanya perhitungan dari aturan yang tidak mengakui pengecualian. Oleh karena itu kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui penjelasan mengenai keberdaan dari noumena, karena konsep murni dari noumena adalah sebuah intuisi murni yang terlepas dari fenomena yang dialami.
2. Fenomenologi Edmund Husserl
1) Lahir atas reaksi terhadap kelemahan positivisme August Comte.
2) Menawarkan reduksi, yaitu penundaan kesimpulan atas fenomena yang sedang diteliti:
a) Reduksi Eiditis: menemukan struktur dasar untuk sampai pada yang hakiki.
b) Reduksi Fenomenologi obyek dipandang gejalanya agar mengetahui subyektifitas-transenden.
c) Reduksi Transenden : hingga menemukan kesadaran murni obyek.
A. Epoche dan Eiditic Vision
Husserl dalam metode fenomenologinya menggunakan prisip Epoche dan eidetic vision. Kata Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Menunda keputusan” atau “Mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.” Dengan kata lain Husserl dalam metode Epoche menyuruh untuk melepaskan atau menghilangkan campur tangan dari pikiran dan teori-teori yang ada terhadap fenomena, dan membiarkan fenomena itu berjalan dengan sendirinya. Karena secara langsung maupun tidak langsung teori-teori tersebut telah memberikan sebuah pandangan yang salah terhadap fenomena yang ada dan menyebabkan kebenaran realitas menjauh dari fenomena tersebut. Sehingga dengan mengosongkan fenomena dari teori maka fenomena tersebut akan tetap murni dan Pure.
Husserl dengan Epoche-nya berusaha menyusun metodos yang menyingkapkan, seolah-olah “memperlihatkan” keadaan hakiki pada tiap-tiap obyek pengetahuan yang mungkin ada, tanpa dicampuri dengan refleksi dan pengetahuan pengalaman sedikitpun jua. Setelah mendapatkan fenomea-fenomena yang pure Husserl melanjutkan ke metode yang kedua, Eiditic Vision atau disebut juga dengan “Reduksi”, yaitu mereduksi atau menyaring fenomena-fenomena yang ada untuk sampai ke-Eidos-nya atau intisari yang sejati. Jadi dengan Eiditic Vision tersebut maka akan tersaring dan terbuang dari fenomena-fenomena tersebut perasaan, pikiran dan pandangan yang terbentuk dari pegalaman .
B. Konsep Lebenswelt (Dunia – Kehidupan)
Ilmu sosial dalam fenomenologi Husserl selalu terkait dengan konsep “Lebenswelt” (Dunia-Kehidupan). Dengan fenomenologinya Husserl berusaha untuk membangun suatu metode baru dalam ilmu sosial. Sehingga Ilmu tidaklah merupakan tujuan yang melekat pada dirinya sendiri, melaikan harus dipandang secara fungsional sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan serta untuk menguasai alam. Jadi Ilmu tidak lagi dipandang sebagai deskripsi mengenai kenyataan yang lebih dalam, yang dapat dipandang sebagai pembatasan terhadap dunia tempat manusia hidup sehari-hari. Karena apabila ilmu dijadikan sebagai batas pandang dari realitas, maka kehidupan manusia adalah tidak ubahnya sebuah kehidupan mekanik yang dikontrol oleh ilmu-ilmu tersebut.
Lebenswelt adalah aliran kehidupan langsung yang belum kita refleksikan, medan multiformitas pengalaman, proses hidup yang senantiasa berdenyut dan kita alami namun tidak sangat jelas bentuknya, nyaris terselubung karena kompleksitasnya. Lebenswelt ini adalah dunia eksistensial dan eksperiensial nyata yang mendahului pemilahan abstrak subyek- obyek beserta segala konstruksi ilmiah ikutannya. Karena dunia kehidupan adalah suatu dunia yang penuh definisi dan definisi itu bersifat abstraksi, maka tugas dari fenomenologi adalah sebagai deskripsi atas sejarah Lebenswelt tersebut untuk menemukan endapan makna yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.
Tawaran Husserl Terhadap Realitas
Dengan metode epoche-eidetic vision dan lebenswelt Husserl mencoba untuk menawarkan bagaimana memahami sebuah realitas secara murni, karena adanya kecenderungan realitas tersebut tersembunyi oleh teori-teori yang telah berkembang sebelumnya. Hal ini dikarenakan realitas itu senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman inderawi yang cenderung terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, agar esensi dari realitas itu dapat terbaca, maka fenomenologi berusaha mengungkapkan esensi dari realitas tanpa memisahkan esensi tersebut dari fenomenanya dengan cara melepaskan segala pikiran dan pengalaman inderawi yang mempengaruhinya. Jadi yang terpenting dalam fenomenologi adalah mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi tanpa membiarkan faktor apapun melakukan intervensi dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi.
Konsep reduksi fenomenologis secara konstan muncul berulang-ulang dalam karya Husserl. Perumusan akhir dari konsep tersebut dalam fase terakhir karya-karyanya menciptakan ruang bagi perbedaan interpretasi. Rupanya Husserl tidak berhasil mencapai sebuah rumusan yang jelas dan tak ambigu dalam pemikiran akhirnya atas konsep tersebut. Sebagaimana yang dilihat Husserl, fenomenologi bercita-cita untuk menjadi sebuah metode yang darinya kita bisa memunculkan kebenaran-kebenaran yang tak terbantahkan; sebuah metode yang akan membawa kita ke akar, ke dasar dari yang tak terbantahkan. Perbincangan kita mengenai realitas memiliki landasan dan akar hanya sejauh dalam perbincangan tersebut sebuah realitas yang pasti muncul. Perbincangan yang berakar mengimplikasikan sebuah gerak kembali ke benda-benda dan tindakan-tindakan itu sendiri. Perbincangan kita berakar dalam dan mendapatkan justifikasinya yang mendasar dan absolut dalam realitas partikular yang muncul dalam perbincangan itu.
Husserl mengawali penelitian filosofisnya dengan sebuah penyelidikan atas hakekat realitas matematis yang membawanya ke sebuah pengujian atas filsafat yang dominan pada masanya. Ini pada saatnya membawanya ke penemuan atas kekeliruan psikologisme. Untuk keluar dari labirin psikologisme, dia lalu membaca Brentano, salah seorang dari sangat sedikit pemikir anti-psikologismik pada masanya. Di sini dia menjadi akrab dengan konsep intensionalitas, yang bertentangan dengan pengajaran Brentano, dia anggap sebagai esensi dari pengetahuan dan kesadaran. Mengetahui sesuatu, menyadari sesuatu, secara hakiki berarti menemukan diri kita sendiri sedang mengarahkan diri, berarti menemukan diri kita terarah ke suatu realitas yang bukan kesadaran atau pengetahuan itu sendiri. Menjadi sadar berarti menjadi melampaui kesadaran ini dengan suatu cara dimana realitas yang disadari itu bukanlah kesadaran itu sendiri. Dan kehadiran realitas yang dituju inilah yang secara hakiki menentukan persoalan kebenaran dan kepastian.
Bentuk pertama dari reduksi yang kita dapati dalam karya Husserl ialah reduksi yang “menempatkan di antara kurung” eksistensi faktual dari benda-benda yang ditampilkan dalam kesadaran. Apakah yang ditempatkan Husserl ke penundaan sementara dari semua penilaian mengenai eksistensi faktual atas realitas yang tampak? Untuk memahami ini kita haruslah ingat kelaziman problem kritis dalam filsafat abad kesembilanbelas. Persoalan kritis ini menanyakan eksistensi dari sebuah realitas yang akan secara nyata berkorespondensi dengan representasi (penampakan) yang ditangkap oleh suatu Cogito yang tertutup dan terisolasi. Dengan tujuan untuk memby-pass “lubang hitam” (quicksand) dari diskusi-diskusi ini, Husserl memperkenalkan konsep pengurungan. Fakta bahwa Husserl menempatkan di antara kurung hal-hal yang berkenaan dengan eksistensi aktual atas apa yang tampak nyata kepada kita, fakta bahwa dia menunda penilaian yang pokok atas realitas, fakta bahwa dia menolak untuk mengikatkan dirinya dengan sebuah pengkadian status ontologis atas benda-benda, semuanya secara jelas mengindikasikan dalam tingkatan tertentu bahwa Husserl sendiri masih merupakan korban dari mitos Cogito yang secara keras hendak dia lawan (De Waelhens).
Hanya dalam sebuah kerangka kerja filosofislah, di mana Cogito dilihat sebagai terisolasi dan terbungkus, dapat ditempatkan sebuah keraguan mengenai eksistensi faktual atas benda-benda. Husserl gagal untuk melihat pada saat itu bahwa konsep intensionalitas yang secara orisinal telah dia rumuskan telah menghalangi kemungkinan suatu reduksi fenomenologis yang dirancang untuk mengurung eksistensi faktual dari obyek-obyek dunia kita.
Jika kesadaran itu sungguh-sungguh bersifat intensionalitas, maka tak ada pertanyaan yang mungkin bisa muncul mengenai realitas dunia yang menjadi arah bagi kesadaran; lebih baik kita katakan bahwa tanpa dunia yang secara faktual ada, kesadaran tak dapat menjadi bersifat apa yang disebut sebagai intensionalitas. Dalam karya Husserl terdapat sebuah perkembangan gradual dimana nilai dari prosedur pengurungan menjadi semakin dan semakin berkurang, sementara nilai dari reduksi fenomenologis menjadi semakin besar dan besar lagi. Kecenderungan ini menunjukkan sebuah perkembangan yang di dalamnya reduksi mendapatkan sebuah nilai baru. Ini tidaklah berarti Husserl memelencengkan diri dari maksud pokoknya atas fenomenologi; dia hanya melanjutkan untuk melihat fenomenologi sebagai sebuah metode yang akan membawa kita kepada hal yang tak terbantahkan melalui jalan kembali ke benda itu sendiri.
Adalah benda-benda itu sendiri yang dengan serta-merta dapat ditangkap dalam pengalaman kita. Walaupun begitu, Husserl kemudian memahami bahwa konsepsi yang ada mengenai pengalaman berjalan bertentangan dengan konsepsinya sendiri. Dalam konsepsi Husserl, pengalaman itu ialah kehadiran kepada benda-benda itu sendiri. Hanya manakala pengalaman itu dilihat dengan cara demikian, pengalaman dapat diperlakukan sebagai sebuah dasar yang di atasnya segenap pernyataan yang benar dapat secara aman diletakkan. Pemahaman populer atas pengalaman sebagaimana yang Husserl lihat dalam peralihan abad merupakan konseptualisasi yang sangat terdistorsi yang dibuat untuk sesuai dengan apa yang disebut sebagai pandangan yang ilmiah atas manusia dan dunia. Karena itu, reduksi fenomenologis dapat secara pokok dianggap sebagai sebuah instrumen dimana kita bisa menyaring keluar pengaruh-pengaruh yang mendistorsi dari prasangka-prasangka kultural dan saintifik.
Evolusi pemikiran Husserl dalam hal ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa rumit dan rumusan akhir dari evolusi tersebut sama sekali tidak sepenuhnya terang. Merleau-Ponty-lah yang mengklarifikasi tahap-tahap akhir dari pemikiran Husserl ini. Pada saat fenomenologi dilihat sebagai sebuah upaya untuk menyingkapkan dasar-dasar filsafat, pada saat fenomenologi dilihat sebagai sebuah metode yang melalui itu kita dapat mencapai landasan kebenaran yang tak terbantahkan, maka fenomenologi haruslah melepaskan topeng segenap prasangka filsosofis yang berkaitan dengan kodrat kesadaran. Pelepasan topeng ini berada di balik penyebutan-ulangnya (re-instatement) atas pengalaman aktual sebagaimana yang dialami, yang disebut sebagai kehadiran pada dan penyingkapan dari dunia-yang-kualami.
3. Fenomenologi Alfred Shutz
a. Menekankan adanya hubungan antarapengetahuan dengan perilaku manusia sehari-hari.
b. Manusia menjadi mahluk sosial.
Dimana tindakan manusia adalah because motive (motif sebab) karena in order to motive (motif tujuan yang ingin dicapai) katakunci: “Agar”.
Schutz memang berhutang budi pada Husserl dan Weber, di mana atas jasa kedua orang itu Schutz dapat ‘mengawinkan’ antara fenomenologi transendental Husserl dengan konsepnya Weber mengenai verstehen. Konsep Schutz mengenai dunia sosial sesungguhnya dilandasi oleh kesadaran (consciousness) karena menurutnya di dalam kesadaran itu terdapat hubungan antara orang (orang-orang) dengan objek-objek. Dengan kesadaran itu pulalah kita dapat memberi makna atas berbagai objek yang ada. Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Schutz sebenarnya merujuk kepada konsepnya Weber dan sementara itu konsep intersubjektivitas Husserl juga sangat kental terasa. Di mana intersubjektivitas dianggap oleh Schutz sebagai suatu konsep atau model yang ideal yang menggambarkan pengetahuan atau pengalaman kita di dalam dunia keseharian.
Bagi Schutz memang pengetahuan mengenai dunia sosial itu merupakan pengetahuan yang sifatnya inderawi belaka dan tidak lengkap, tidak akan pernah utuh, karena kemampuan indera manusia dalam menyerap pengetahuan itu memang memiliki keterbatasan. Fenomenologi memang memfokuskan pada pemahaman dan pemberian makna atas berbagai tindakan yang dilakukan seseorang atau orang lain di dalam kehidupan keseharian sehingga fenomenologi memang merupakan pengetahuan yang sangat praktis serta bukan merupakan pengetahuan yang sifatnya intuitif dan metafisis. Sosiologi memang termasuk ke dalam pengetahuan yang sifatnya praktis tadi karena sosiologi dapat memberikan penjelasan mengenai dunia sosial. Oleh karena itu, apa yang dinamakan lifeworld sesungguhnya dilandasi oleh pengetahuan dan ini selalu berkaitan dengan apa yang dinamakan dengan tipifikasi, karena tipifikasi ini merupakan komponen utama dari ilmu pengetahuan. Hanya saja Schutz membedakan antara ilmu (science) dengan ilmu sosial (social science) di mana di dalam fenomenologi konsep ilmu sosial selalu berkaitan dengan tipifikasi karena tipifikasi merupakan suatu fenomena atau gambaran nyata dari suatu objek ideal yang ‘berada di luar sana’.
4. Fenomenologi Peter L. Berger
Ide dimana nilai budaya, norma dilihat sebagai pusat organisasi yang mensosialisasikan maknanya pada masing – masing anggotanya
INTERNALISASI Masyarakat MEMPENGARUHI individu didalamnya
EKSTERNALISASI Individu MEMPENGARUHI masyarakat karena ia bagian dari masyarakat.
OBYEKTIVASI Individu MEMAKNAKAN KEMBALI NILAI dalam kelompoknya.
5. Harry Hamersma
Uraiannya tidak terlalu panjang atau mendalam, sebab tema yang digarap buku tersebut sangat luas, sehingga hanya sedikit kunci yang dapat ditemukan dalam bukunya. Menurut Hamersma (1983) ada tiga kunci yang harus dipahami untuk mengenal fenomenologi Husserl, yaitu (1) fenomenologi transendental, (2) kesadaran dan intensionalitas, dan (3) tiga reduksi versi Husserl.
Fenomenologi Husserl menurut Hamersma pada hakekatnya dikaitkan dengan logika transendental, bukan lagi dengan logika psikologis. Hamersma dalam bukunya tidak menjelaskan tentang transendentalitas dalam fenomenologi Husserl, maka seolah-olah menjadi tidak ada dasarnya menyebut fenomenologi Husserl adalah fenomenologi transendental. Namun, jika logika transendental yang menjadi landasan dari fenomenologi Husserl adalah seperti yang dipaparkan oleh Van Peursen (1988), maka menjadi agak jelas bahwa fenomenologi transendental adalah fenomenologi yang berusaha meraih pemahaman tentang obyek-obyek melalui pengenalan yang terus menerus dan semakin mendalam.
Hamersma dalam uraiannya berusaha menunjukkan bahwa deskripsi fenomenologis merupakan sendi penting dalam fenomenologi Husserl, sebab dengan mendiskripsikan fenomena maka pemahaman mendalam tentang obyek yang diamati menjadi semakin jelas. Bahkan dikatakannya, dengan mendiskripsikan obyek secara fenomenologis maka obyek diciptakan, bukan sekedar dipaparkan. Artinya, pada saat pengamat melakukan deskripsi, maka hakekatnya ia sedang menciptakan obyek menurut kesadaran dan pengamatan yang dilakukannya.
Jika dikaitkan antara logika transendental dengan deskripsi fenomenologis, maka dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mendiskripsikan obyek secara fenomenologi transendental sampai pada hakekatnya jika ada kedekatan yang terus –menerus dengan obyek yang diamati. Artinya, kedekatan dan pengamatan yang intensif menjadi syarat diraihnya hakekat obyek yang diamati. Bahkan, menurut Hamersma, mendeskripsikan obyek adalah menciptakan obyek sekaligus menjelaskan hakekat obyek, asalkan dilakukan dengan pengamatan yang intensif dengan kedekatan yang sangat erat.
Karena itu, untuk bisa melakukan praktek fenomenologi Husserl yang bersifat transendental, maka kedekatan dan pengamatan yang intensif terhadap obyek merupakan langkah kunci pertama yang disyaratkan. Pengamat dari jarak pengamatan yang jauh hampir tidak mungkin mampu menemukan hakekat obyek secara mendalam. Kunci pertama ini menunjuk langsung pada pengertian, perjumpaan secara langsung dengan obyek yang diamati menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan. Kata perjumpaan dalam uraian ini adalah perjumpaan yang sangat dekat sehingga pengamat mampu mengamati secara intensif; terus menerus dengan intensitas yang tinggi.
Langkah kunci yang kedua adalah melakukan deskripsi fenomenologis tentang obyek yang diamati disertai kesadaran bahwa ketika mendiskripsikan obyek maka sang pengamat sedang menciptakan obyek menurut kedekatan yang digunakannya. Artinya, kemampuan mendekati dan mendiskripsikan obyek menjadi syarat kunci yang sangat menentukan ditemukannya hakekat obyek yang diamati. Dengan demikian, pencapaian hakekat obyek sangat tergantung pada kemampuan pengamat dalam melakukan pendekatan, pengamatan dan pendiskripsian tentang obyek yang diamatinya. Beberapa orang yang mengamati obyek yang sama akan menemukan bermacam-macam hahekat dari obyek yang sama, dan hal itu menurut Hamersma ditentukan oleh kedekatan, intensitas pengamatan dan deskripsi fenomenologis yang dikerjakan oleh para pengamat.
Praktek dengan pengertian fenomenologi tansendental seperti ini dapat dilakukan untuk melihat obyek ruang kota di jalan Malioboro. Pengamat harus berusaha memiliki relasi yang sangat dekat dengan ruang Malioboro. Ia juga harus melakukan pengamatan yang intensif terhadap ruang Malioboro. Kedua langkah tersebut akan menentukan bagaimana deskripsi pengamat tentang ruang Malioboro. Ketika mendiskripsikan itulah hakekat ruang Malioboro berhasil diciptakan dan ditemukan. Dengan demikian, esensi hakekat tentang ruang Malioboro dekat dengan pengetahuan subyektif, bukan pengetahuan obyektif.
Persoalan pengetahuan subyektif ini sebenarnya tidak menjadi masalah besar, sebab pengetahuan subyektif yang diperoleh dapat disikapi sebagai pengetahuan ”sementara” yang menemukan ”sepotong profil” dari sisi tertentu dalam kerangka proses konstitusi obyek dalam kesadaran pengamat (Bertens, 1990). Jika kita sepakat dengan Hamersma dan Bertens, maka menemukan hakekat obyek memerlukan kedekatan, pengamatan intensif, kesadaran subyektivitas merupakan bagian dari proses konstitusi yang menciptakan obyek di dalam kesadaran pengamat. Subyektivitas dapat ditekan menuju kepada obyektivitas jika terjadi proses dialog – intersubyektif dengan pengamat yang lain, sebab di dalam proses dialog terjadi proses konstitusi kolektif (istilah kami) tentang obyek yang sama dan akhirnya menghasilkan temuan hakekat obyek yang relatif mendekati obyektif dalam lorong inter – subyektivitas.
KESADARAN DAN INTENSIONALITAS. Kesadaran bukanlah bagian dari kenyataan melainkan asal dari kenyataan; kesadaran tidak menemukan obyek-obyek melainkan menciptakannya. Kesadaran selalu terkait dengan sesuatu yang disadari karena ada subyek, subyek terbuka pada obyek, dan ada obyek. Kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek; kesadaran intensional. Kesadaran tidak pernah pasif melulu karena menyadari sesuatu selalu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran (Noesis) selalu berinteraksi dengan obyek kesadaran (Noema) dan akhirnya menciptakan obyek yang disadari (Noema).
Sama dengan Bertens, Hamersma menekankan pada pentingnya kesadaran dan intensionalitas. Bahkan menurut Hamersma, kesadaran adalah asal-muasal realitas yang menciptakan realitas itu sendiri. Kesadaran dalam fenomenologi Husserl adalah kesadaran yang aktif dan selalu terbuka serta terarah kepada obyek-obyek yang diamati. Ada interaksi aktif antara kesadaran aktif pengamat dengan obyek yang diamati. Alinea ini menegaskan bahwa pengamat yang menggunakan fenomenologi adalah pengamat yang menggunakan kesadaran aktifnya untuk menciptakan realitas yang diamatinya. Pengamat secara aktif menciptakan realitas melalui pengamatan yang menggunakan kesadaran aktifnya.
Pengamat yang sedang mengamati ruang Malioboro, misalnya, harus selalu aktif melakukan pengamatan sehingga aktif menciptakan relitas dalam kesadarannya. Ia harus mampu mengarahkan pengamatannya yang dituntun dengan kesadaran aktif untuk menciptakan realitas ruang Malioboro. Kesadarannya yang aktif akan menuntunnya untuk menyentuh semua aspek yang menciptakan realitas ruang Malioboro. Pengamatan menyeluruh yang dituntun oleh kesadaran aktif akan menjadi syarat kunci terciptanya realitas ruang Malioboro. Jelas bahwa dalam uraiannya, Hamersma melihat bahwa kesadaran aktif merupakan kunci penting dalam menjalankan fenomenologi transendental Husserl.
TIGA REDUKSI. Agar mencapai hakekat obyek, diperlukan tiga tahap reduksi yang fungsinya adalah menyingkirkan semua hal pengganggu. Reduksi pertama, menyingkirkan semua hal yang subyektif; reduksi kedua menyingkirkan seluruh pengetahuan yang diperoleh dari sumber lain (semua teori dan hipotesis yang ada); dan reduksi ketiga menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Ketiga reduksi akan menghasilkan gejala yang menampakkan diri; fenomin.
Cara kerja kesadaran aktif, yaitu pengamatan secara aktif adalah melakukan tiga tahapan reduksi. Reduksi pertama adalah penggunaan kesadaran aktif untuk melihat bahwa unsur subyektif harus dilepaskan dari pengamatan terhadap obyek. Husserl tampaknya mencurigai bahwa subyektivitas manusia potensial mengaburkan pengamatan. Artinya, hal-hal yang subyektif perlu dilepaskan supaya obyek menampakkan diri sejujur-jujurnya. Husserl secara tegas menunjukkan bahwa kecenderungan pribadi perlu disikapi secara kritis. Dengan demikian menjadi jelas, kesadaran aktif tertuju kepada dua arah, yaitu aktif melakukan penciptaan obyek (orientasi ke luar) dan aktif melakukan kontrol terhadap subyektivitas pribadi (orientasi ke dalam).
Reduksi kedua menegaskan bahwa pengamatan fenomenologis harus murni dan tidak tercemari oleh pengetahuan yang ada dalam pikiran pengamat, sebab pengetahuan tersebut akan mengganggu terciptanya obyek secara apa adanya. Kecurigaan Husserl yang kedua adalah terhadap peran pengetahuan yang telah mengendap dalam benak pengamat sepanjang hidupnya. Kecurigaan ini sejalan dengan pemikirannya bahwa pengamatan harus dilakukan secara murni, yang artinya pengamat dapat mengontrol dirinya secara sadar terhadap pengaruh dari pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Reduksi ketiga semakin ekstrim sebab Husserl mencoba melakukan pembersihan kesadaran pengamat dari seluruh tradisi pengetahuan. Orang diharuskan memurnikan dirinya sendiri ketika melakukan pengamatan fenomenologis sebab yang ingin dicapai adalah pengetahuan yang murni. Bagi Husserl sangat penting bahwa selama proses pengamatan tidak boleh ada hal-hal yang mengganggu supaya pengetahuan yang dihasilkan tentang obyek bersifat murni.
Dengan demikian, reduksi mirip proses mengupas bawang merah, selapis demi selapis hingga akhirnya sampai kepada inti paling dalam yaitu hakekat obyek. Selain itu, Husserl dengan reduksi juga menegaskan bahwa pengetahuan murni tentang realitas hanya dimungkinkan jika manusia juga melakukannya dengan kesadaran murni, yang tidak dicemari oleh subyektivitas dirinya, pengetahuan yang pernah dimilikinya, dan seluruh tradisi pengetahuan yang pernah ada. Proses reduksi, selain menunjukkan proses aktifnya kesadaran juga menjelaskan sikap Husserl yang paling dasar yaitu pengetahuan yang murni hanya dapat diperoleh melalui pengamatan yang murni, bebas dari pengaruh subyektivitas manusia dan pengetahuan yang pernah dimilikinya.
6. Emilio Betti
Emilio Betti adalah seorang filsuf, teolog dan ahli hukum dari Italia yang sumbangan pemikirannya untuk memajukan hermeneutika dalam tradisi pemikiran Barat amat berarti, khususnya di wilayah akademis berbahasa Italia dan Jerman. Kisah hidup Betti cenderung tertutup untuk diakses publik, khususnya khalayak yang berbahasa Inggris. Betti termasuk kategori pemikir hermeneutika yang berhaluan idealis-romantis. Pendekatan ini mengarahkan Betti untuk berargumentasi tentang kemungkinan verstehen sebagai sebuah bentuk pemahaman yang bisa ditelusuri dan dibenarkan secara metodologis. Pendekatan ini pula yang membuatnya berseberangan dengan Gadamer dalam hal menegaskan status epistemologis hermeneutika. Mari kita lihat di bawah ini argumentasi Betti untuk membela status objektif dari penafsiran guna sampai pada verstehen yang valid.
7. Merlu – Ponty
Ia pernah menulis bahwa fenomenologi berarti “penyangkalan atas sains” (the disavowal of science). Sungguh besar kesulitan yang harus dihadapi oleh fenomenologi gara-gara kalimat tersebut! Seberapa besar kesulitan yang sanggup dimunculkan oleh kaum fenomenolog, telah mereka perlihatkan secara gamblang dalam hal relasi mereka dengan sains. Jika fenomenologi sungguh-sungguh merupakan penyangkalan atas sains, lantas apakah fenomenologi itu selain dari mistifikasi atas realitas?
Merlu – Ponty mengetengahkan pendekatan fenomenologis yang merupakan campuran tekanan fenomenologi Husserl dengan tekanan Psikoloi Gestalt. Alhasil, muncul fenomenologi persepsi yang pada hemat Merleru – Ponty, mampu berhubungan dunia real.
D. Perkembangan
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “Sikap fenomenologis”. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan).
Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil – profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.
Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorous.
Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan-akan dunia sama sekalai tidak berkaitan dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen. Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis dan absolut tentangnya. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia, sebaliknya realitas material ditemui dalam suatu prespektif baru, yaitu korelat bagi kesadaran. Menurut Husserl yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau “ego transendental”.
Metode Fenomenologi sejauh ini metode ini yang paling baik digunakan untuk menerengkan sesuatu. Dengan metode fenomenologi kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Dan penampakkan-penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Dan karena realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Jadi menurut saya metode ini merupakan metode yang paling signifikan untuk meneliti objek yang akan dikaji.
Kesimpulan
Fenomenologi diperkenalkan oleh J.H Lambert tahun 1764. untuk merujuk pada teori penampakan. Teori ini bersama teori kebenaran, logika dan semiotika, merupakan empat disiplin filosofisnya. Semenjak Lambert istilah ini telah dipakai dalam beraneka kaitan.
Hegel dalam Phenomenology of The Spirit merinci tahap – tahap memungkinkan manusia Barat naik kepada tingkat akal budi yang universal.
William Hamilton memerlukan sebuah fenomenologi empiris tentang roh manusiasebagai titik berangkat pengetahuan obyektif.
Eduard von Hartmann menggunakan istilah fenomenologi sebagai sinonim survai. Dikatakannya, fenomenologi tentang praktek moral sebaiknya mendahului kesimpulan – kesimpulan filosofis dalam kaitan dengan prinsip – prinsip moral.
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derrida (poststrukturalisme) – semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi.
Max Scheler menerapkan metode metode fenomenologis pada penjelasan terhadap hakikat nilai.
Heidegger belajar di bawah bimbingan Husserl, tetapi mengarahkan analisis fenomenologisnya sendiri kepada penemuan kembali makna Being melalui pengertian hakikat manusia.
Sartre menggunakan An Essay in Phenomelogical Ontology (Ontologi Fenomenologis) sebagai subjudul karya utamanya Being and Nothingness. Dengan demikian, ungkapan ini mensinyalir baik hubungannya dengan analisis tentang situasi manusia kepada ontologi.
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “Hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Kritik Fenomenologi:
1. Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi.
2. Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).
Halaman
FENOMENOLOGI
Label:
Fenomenologi,
Sosiologi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 CommentS:
Boleh tau dapet dari judul buku apa?
Boleh tau dapet dari judul buku apa?
Posting Komentar
Terima kasih atas Komentarnya ya..